Ulama dan Umaro
Ulama………
Betapa menggetarkan panggilan itu. Betapa menyejukkan untaian kata itu. Betapa menggairahkan 5 huruf yang terbentuk dari kata ilmu. Selalu ada nuansa baru satiap kali kita mendengar kata ulama; sebab mereka adalah khairul julasa’ (sebaik-baik teman gaul kita) “Sebaik-baik teman bergaul adalah yang pandangannya mengingatkanmu kepada Allah, perkataannya menambahkan ilmu, dan perilakunya mengingatkan kehidupan akhirat”. Karenanya Allah swt menegaskan, bahwa ulama adalah hamba Allah yang memiliki rasa takut yang sangat kepadaNya (baca: QS. ). Karenannya pula Rasulullah saw menyatakan dalam haditsnya “Ulama adalah pewaris para Nabi Allah” (HR. ).
Adalah kewajiban setiap muslim setelah memberikan wala’ (loyalitas)nya kepada Allah dan RasulNya, hendaknya ia memberikan wala’nya kepada orang-orang beriman, khususnya para ulama yang Allah jadikan ibarat bintang-bintang gemerlapan penerang kehidupan. Mereka adalah harapan dan dambaan umat, karena mereka mengemban risalah Islam, penerus perjuangan Nabi Muhammad saw dalam menebarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta mewujudkan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia dalam berbagai aspeknya. Karenanya Allah menyatakan dalam firmanNya: “..Sungguh Allah mengangkat orang-orang beriman dan orang yang diberikan ilmu beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadalah: 6).
Alangkah nikmatnya kedatangan ulama-ulama seperti itu.
Umara.
Betapa tersanjung dan tinggi kedudukannya. Betapa nama itu memberikan kewibawaan khusus pada hati nurani setiap kita. Mereka adalah orang-orang yang mampu melaksanakan janji dan sumpah setianya. Merekalah para pengemban amanat bangsa dan masyarakat dalam mewujudkan kehidupan adil dan sejahtera, sesuai dengan nilai-nilai agama yang diridhoi Allah swt, obsesi dan cita mereka adalah mewujudkan “baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur” (negeri yang baik sejahtera, Allah pun meridhoinya). Motto mereka sejatinya “Hidup mulia atau mati syahid di jalan Allah”.
Alangkah indahnya hidup ini bila dapat melihat umara semcam itu.
Seringkali orang memecah belah unsur-unsur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seakan setiap unsur dalam kehidupan ini memiliki posko masing-masing yang tidak terkait dengan unsur lainnya. Padahal secara fitrah manusia itu adalah makhluk sosial yang saling membahu, bahkan tidak mungkin ada kehidupan tanpa wujudnya sikap saling membahu.
Diantara unsur terpenting dalam masyarakat dan negara adalah ulama dan umara. Ulama, betapapun besar dan banyaknya tugas-tugas mereka, betapapun tinggi martabat keilmuan mereka, tetap saja mereka tidak boleh terpisah dari unsur terpenting lainnya yakni umara. Demikian sebaliknya, para umara betapapun berat amanat dan tingginya kedudukan mereka, keterkaitan mereka dengan para ulama sangatlah erat dan memliki hubungan horizontal yang kokoh dalam menjalankan peran-perannya.
Hubungan intim harmonis antara ulama dan umara secara global dijelaskan Allah swt dalam surat at-Taubah 71, yang terjemahan maknanya: “Orang-orang beriman laki-laki dan perempuan satu sama lain adalah pemimpin (yang saling menolong), melakukan amar makruf dan nahi munkar”. Obyek dan materi tolong menolong tersebut juga dijelaskan Allah dalam ayat lain Saling tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan, jangan saling menolong dalam kejahatan dan dosa” (QS al-Maidah: 4).
Namun dalam kenyataannya para ulama memiliki peran-peran khusus terhadap umara yang berorientasi kepada kemaslahatan bangsa dan negara. Diantara peran-peran penting tersebut adalah :
Pertama: Peran Tauiyah (Penyadaran).
Peran tauiyah ulama kepada umara adalah bagian dari tugas dakwah ulama kepada umara dalam menebarkan kebaikan-kebaikan, sebagaimana firman Allah swt, yang terjemahannya: “Hendaklah segolongan darimu terus melakukan aktifitas dakwah kepada kebaikan….” (QS ali Imran: 104).
Mengapa peran tauiyah harus dilakukan para ulama shalih ? Karena para umara dalam keseharian mereka bergelut dengan fenomena duniawi, baik takhta maupun harta, bahkan wanita; semua itu adalah fitnah kehidupan yang harus dihadapi dengan kebersihan hati, kejernihan motivasi dan kemuliaan akhlak serta keistiqomahan beragama. Para ulama senantiasa mengingatkan umara tentang bahaya fitnah tersebut dan memberikan kiat praktis dalam mengantisipasi kejatuhan umara ke kubang kenistaan lantaran takhta harta dan wanita. Sehingga iman terjaga, akhlak terpelihara, moralitas agama terkondisi, syahwat dan emosipun terkendali. Karena peran tauiyah ulama inilah, mereka selalu dianjurkan menambah ilmu dan meningkatkan wawasan pengetahuan, agar proses tauiyah berjalan efektif, kreatif dan produktif.
Kedua: Peran Taujih (Pengarahan).
Taujihat (Pengarahan-pengarahan) ulama kepada umara merupakan keniscayaan untuk membantu mereka dalam mengemban tugas-tugas yang demikian berat. Demikian taujihat tersebut seyogyanya dilakukan secara signifikan dan kontinyu.
Mengapa peran taujih ini harus dilakukan para ulama shalih ? Karena secara fitri sebenarnya dalam diri setiap manusia ditanamkan kekuatan melakukan kebaikan dan kekuatan melakukan keburukan ( fa alhamahaa fujuurohaa wa taqwaahaa ) artinya Allah swt mengilhamkan kepada setiap diri kekuatan fujur (kejahatan) dan kekuatan takwa (kebaikan). Karenanya arahan-arahan dari luar diri manusia berfungsi sebagai pembimbing ke jalan kabaikan, agar kekuatan takwa dalam diri tersebut dapat mendominasi kekuatanan jahat. Di sisi lain tidak kalah penting untuk diketahui tentang adanya kekuatan eksternal yang selalu berupaya memperdaya manusia agar ia mau bergabung dengan hizbus-syaithon, yaitu kekuatan syetan yang selalu menggoda manusia dalam kehidupan ini. Syetan-syetan itu mendatangi manusia dari berbagai arah mata angin, Timur Barat Utara Selatan, dari arah kanan kiri depan dan belakang. Karenanya mereka berkubu-kubu, kubu Barat, kubu Timur, Selatan dan Utara. Sekali saja manusia terbujuk rayu oleh kekuatan itu, maka akan dengan mudah ia bergabung dalam aktifitas hizbus-Syathon itu , na’udzu billah min dzalik. Dari situlah pentingnya ulama memerankan taujihat kepada umara secara signifikan dan kontinyu, sebab umara bukan manusia biasa, maka godaan yang dihadapinya pun tidak biasa-biasa saja. Demikian syetan penggoda yang selalu membuju rayu pun lebih hebat lebih licik dan lebih cerdas dari syetan-syetan yang lain.
Ketiga: Peran Ishlah (Perbaikan).
Jangankan ulama besar terkenal, seorang bocah nan cerdas lagi berkapasitas ulama saja mampu memainkan peran ishlah kepada umara. Ketika Umar bin Abdul Aziz dinobatkan menjadi khalifah, datang seorang anak remaja berusia 11 tahun menghadap sang Khalifah, Khalifah pun berkata: Tidak adakah dari kaummu orang yang lebih tua dari anda wahai anak kecil ? Dengan cerdas dan kritis sang remaja menanggapi pertanyaan sang Khalifah: “Semoga Allah memperbaiki engkau wahai Amiril Mukminin. Sesungguhnya seseorang itu justru dilihat dari hal yang kecil yakni hati dan lisannya. Jika Allah menganugrahkan lisan yang tajam dan hati yang terpelihara, maka orang tersebut mempunyai hak penuh untuk berbicara. Kalau penilaian terhadap seseorang karena usia, maka ada orang lain yang lebih berhak dari Anda untuk menjabat sebagai Khalifah”. Kemudian anak itupun menyampaikan pesan-pesan kaumnya kepada Amiril Mukminin Umar bin Abdul Aziz.
Justru ketika peran ishlah ini terabaikan, maka yang akan terjadi adalah bencana besar lantaran kemaksitan merajalela, kejahatan menyebar luas tanpa adanya kontrol ulama terhadap kebijakan dan sikap moralitas umara. Allah berfirman: “Orang kafir dari kalangan Bani Israel dilaknat atas lisan Daud dan Isa anak Maryam, hal demikian karena kemaksiatan dan permusuhan mereka. Mereka tidak melakukan pencegahan terhadap kemunkaran yang dilakukan, alangkah buruk kelakuan mereka” (QS. al-Maidah: 78).
Akhirnya, perlu diketahui bahwa indikasi keakraban hubungan dan keharmonisan persaudaraan antara umara dan ulama, bahkan dengan orang-orang yang dipimpinnya adalah mereka saling mendoakan dengan suka rela dan ikhlas, karena kelezatan suasana yang dirasakan, situasi pemerintahan dan kondisi politik yang menyejukkan, tidak segan-segan mereka saling dukung, saling bahu dalam segala bentuk kebajikan.
Karenanya, upaya memilih pemimpin yang shalih menuntut kesadaran dan kecerdasan bangsa dan masyarakat untuk mewujudkan pemimpin seperti itu, memilih dengan hati nurani yang terdalam, ikhlas dengan motivasi lurus, tanpa pamrih, tidak mudah dirayu dengan bentuk-bentuk materi yang menjerumuskan. Hendaknya hari ini kita lebih baik dari kemarin, hari esok kita tentunya jauh lebih dari hari ini dan hari kemarin kita. Takutlah kepada Allah agar memperoleh keberuntungan dan kebahagiaan.
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
Kembali ke Atas